“Dalam Politik, umat islam seperti penumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa bintang, tanpa kompas, dan tidak tahu cara berlayar. Kadang kadang umat dibuat bingung karena panutanya berbuat seenaknya, lupa bahwa di belakangnya ada banyak orang. Karenanya, kaidah politik umat harus ditentukan dengan jelas, sehingga umat terbebas dari tempramen pribadi seorang pemimpin. Bahkan seorang pemimpin harus mengikuti kaidah, bukan sebaliknya, menentukan kaidah.”
Kuntowijoyo – Identitas Politik Umat Islam
Kontestasi Politik Nasional berada dalam dekapan waktu yang tidak lama lagi akan dimulai. Loby-loby elite politik sudah dimulai dari koalisi hingga konsolidasi antar partai politik untuk memuluskan jalan kemenangan pada 2024 mendatang. Tulisan ini bukan mendukung paslon capres yang diusung koalisi partai manapun melainkan tulisan ini adalah sebuah alarm politik dan intelektual untuk umat islam dalam menghadapi pesta demokrasi mendatang. Karena Islam memiliki sejarah yang panjang sebagai instrument politik di Indonesia (Faradina et al., 2022). Menurut Laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) bertajuk The Muslim 500 edisi 2023 menunjukkan, jumlah populasi muslim di Indonesia mencapai 237,55 juta jiwa. Sebuah populasi yang menggambarkan bahwa umat muslim sebagai warga negara Indonesia adalah kaum mayoritas.
Dewasa ini umat islam dalam kontestasi politik layaknya kapal yang tidak memiliki kompas tidak terarah dan tidak tahu cara berlayar. Menjadi umat yang mayoritas seharusnya umat secara kolektif maupun individual bisa menjadi role model uswathun khasanah kebangsaan dalam dinamika politik. Jika kita melihat flashback dalam pemilu serentak 2019 yang kala itu mempertarungkan kandidat Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi mempertontonkan dalam ruang public tentang narasi yang menguatkan politik identitas yang tidak sehat, seperti adanya narasi Partai Setan VS Partai Allah, maupun mempertanyakan keislaman salah satu paslon dengan beredarnya banyak video-video yang bermuatan kebencian dengan maksud melakukan penggiringan opini dan menggoreng bahwa salah satu paslon tidaklah seorang muslim yang taat. Hal ini bukanlah tidak sengaja melainkan adalah praktik kotor yang dilegalisasi oleh kalangan elite politik dengan hanya maksud menjadikan umat sebagai ladang suara agar bisa memenangkan partai dan paslon yang diusung nya. Adanya fenomena seperti ini adalah sebuah keprihantinan dalam kemunduran demokrasi substansial kita, menurut Ardiandanto politik identitas anti-establishment agama yang memperhatikan semangat golongan dan partai, menyebabkan degradasi persatuan bangsa dengan dampak polarisasi yang meluas dikalangan masyarakat (Ardipandanto, 2020). Yang seharusnya digaris bawahi disini adalah bagaimana para elite politik melakukan hegemoni narasi politik yang sehat yang bertujuan mempersatukan dan mendamaikan para pendukungnya, mengedepankan rasionalitas bukan emosional kepentingan kelompok agama tertentu. Senada dengan ini menurut Gonda Doktor Bidang Politik Fisip UMM menegaskan bahwa umat islam sebenarnya memiiki posisi yang sangat strategis karena mempunyai sejarah politik yang panjang di Indonesia ditambah islam sebagai agama mayoritas, namun yang sangat disayangkan islam hanya dijadikan sebagai alat politik untuk mendulang suara, ketika para politisi membutuhkan dukungan politik serempak menggunakan atribut keislaman seakan akan merepesentasikan suara umat islam di Indonesia. Mungkin benar kata Kuntowijoyo bahwa pentingnya kaidah politik umat islam harus ditentukan dengan jelas agar umat tidak kebingunan dalam menghadapi dinamika politik kedepanya.
Politisi Islam dan Umat Islam Sebagai Pemilih
Politik 2024 adalah evaluasi dari politik sebelumnya bagi umat islam sebagai pemilih maupun orang yang dipilih. Watak umat seharusnya menjadi sosok manusia yang menjunjung toleransi, kebenaran fakta dan data dan juga persatuan. Umat tidak lagi boleh terbuai dengan politisi yang mendaku sebagai sosok representasi suara islam hanya karena memakai peci dan mengucapkan salam lalu basmalah ketika dalam sambutanya. Umat islam hari ini perlu memikirkan ulang tentang bagaimana umat islam dalam konteks kebangsaan yang mana hal itu juga pernah diungkapkan oleh bapak republik kita, Moh. Hatta. Ia mengambarkan umat harus bergerak layaknya falsafah garam yaitu ketika umat islam ingin memperjuangkan ajaran islam di Indonesia pakailah ilmu garam, tidak ilmu gincu. Ketika garam laut berada pada makanan bekasnya tidak keliatan, tetapi garam tersebut menjadi penentu pada citara rasa makanan tersebut. Sebaliknya gincu, terbelalak merah di bibir tapi tuna rasa. Falsafah islam garam hendaknya bisa dimanifestasikan dalam kehidupan terkhusus dalam politik. Politisi yang mendaku sebagai muslim seharusnya menebar narasi rasionalitas dalam isu isu pembangunan nasional yang bermuatan progresif dan substantif. Begitu juga dengan umat sebagai pemilih tidak boleh lagi layaknya ungkapan Kuntowijoyo yaitu seperti penumpang perahu diatas kapal yang tidak tahu arah, mudah terombang ambing dalam gelombang dinamika bahkan mengedepankan emosional ketimbang rasional itu sendiri. Umat islam kedepanya tidak terbuai dengan sekedar tampilan para elite politik melainkan memilih otak dan rekam jejak dari pada paras dan penampilan belaka. Masyarakat Indonesia harus mulai mampu berpikir rasional dan kritis, terutama yang berkaitan dengan isu-isu politik dan agama yang cenderung dimainkan para elite-elite politik. Umat tidak boleh terbuai dengan isu bahwa pemimpin yang taat kepada tuhan dengan simbolisasi material nya seperti beredarnya foto ia haji, memakai peci atau melakukan sholat. Jika umat masih terbuai dengan gimmick politik diatas maka tidak ada bedanya dengan islam gincu yang disebutkan Moh. Hatta bahwa menekankan symbol semata ketimbang substansial gagasan politik yang mensejahterakan rakyat kedepanya.
Dalam Pergulatan Politik 2024 mendatang, umat islam sebagai calon pemimpin dan pemilih memiliki modal dalam menjadikan perdamaian, kemajuan dan menentukan arah pembangunan kedepan bagi bangsa Indonesia ini. Hal ini sekali lagi karena umat islam adalah sebagai kaum mayoritas. Seyogyanya label mayoritas ini bukan alat gagahan yang menggerus demokrasi, menggerus minoritas layaknya penindas. Melainkan modal sebagai seorang muslim seharusnya dijadikan sebagai kunci pembebasan dalam evaluasi kepemimpinan 5 tahun atau decade-dekade sebelumnya.
Transformasi Budaya Politik Menuju Demokrasi Substansial
Memimpikan Pesta Demokrasi dengan adu gagasan adalah sebuah impian tentang hadirnya demokrasi substansial dalam kehidupan kontestasi politik Indonesia. Dalam hal ini, tentunya perlu sebuah kesadaran dari berbagai elemen mulai dari pemerintah sebagai pemegang jalanya otoritas kekuasaan, elite partai politik dan juga masyarakat itu sendiri. Trasnformasi Budaya berdemokrasi penting dilakukan sebagai sebuah usaha dalam menyongsong budaya demokrasi substansial kita. Menurut Almond dan Verba, Budaya Politik merupakan sikap induvidu terhadap sistem politik dan komponen-komponenya, sikap induvidu terhadap peranan yang dimainkan dalam sebuah sistem politik. Sikap individu yang dimaksud adalah orientasi psikilogis terhadap objek sosial dalam hal ini sistem politik yang kemudian dinternalisasikan dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif dan evaluatif (Wahyono, 2012) Transformasi Budaya Politik ke dalam bentuk demokrasi substansial perlu menghadirkan politik nilai. Menurut Haedar Nashir, Politik Nilai adalah politik yang mengedepankan dan berbasis pada nilai, tergantung pada rujukan dan konstruksinya, terutama terkait keyakinan yang dipegang oleh aktor dan penganutnya.
Politik Nilai Umat Islam
Pertanyaannya adalah bagaimana politik nilai umat islam itu sendiri sebagai pegangan manifestasi politik sebagai seorang dipilih maupun seorang pemilih? Pentingnya sebuah kaidah politik menurut Kuntowijoyo agar umat islam tidak menjadikan panutan atau perseorangan sebagai kiblat politik, karena sosok individual dalam dunia politik bersifat dinamis tergantung kepentingan yang ingin diperolehnya. Disinilah pentingnya sebuah kaidah politik umat islam agar umat islam menjadi kelompok penebar kebermanfaatan dalam dinamika politik. Kaidah politik umat islam adalah jalan memuluskan kepentingan politik umat islam, perlu digaris bawahi bahwa kepentingam politik umat islam bukan kepentingan seperti para parpol yang sekedar menang dan menguasai, melainkan kepentingan dalam menebar sebuah nilai kebermanfaatan ajaran islam itu sendiri. Maka kaidah ini bukanlah pegangan yang hanya dipegang oleh salah satu paslon maupun parpol melainkan untuk seseorang yang mendaku sebagai umat islam. Disinilah ajaran islam dalam politik perlu di objektivikasikan agar islam bisa menjawab realitas objektif.
Objektivikasi Nilai Islam dalam Politik
Objektivikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif (Kuntowijoyo, 2018). Maksudnya adalah bagaimana nilai nilai internal dalam hal ini adalah islam dikongretisasi dalam sebuah perbuatan dan hal tersebut dirasakan oleh semua manusia yang tidak terbatas agama, ras dan golongan tertentu. Hal ini bisa menghindari dari adanya sebuah dominasi umat islam sebagai kaum mayoritas. pentingnya sebuah objektivikasi ialah tapa perlu melihatkan sebuah simbolisasi islam namun substansial ajaranya bisa dirasakan oleh semuanya. objektivikasi nilai nilai keislaman bisa dilihat dari contoh bahwa islam sangat menjunjung tinggi prinsip kesetaraan antara laki laki dan perempuan, objektivikasi dari ajaran ini dalam bentuk kebijakan publik bisa dilihat dari adanya undang undang atau kebijakan yang pro terhadap kesetaraan antar gender, ruang aman dari kekerasan berbasis gender dan keadilan sosial yang tidak memandang gender tertentu.
Kuntowijoyo membagi kepentingan umat islam dalam politik dalam 3 hal, yaitu Moralitas (Jalan Allah, sabillah), (2) perubahan struktur (jalan kaum teraniyaya, Sabilil Mustadh’afin) dan (3) Mekanisme Politik yang Baik (Jihad besar melawan “Nafsu Politik”). Moralitas dalam politik menjadi sebuah hal penting karena pemimpin yang baik akan menghindari dari perbuatan tercela seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Mengenai Moralitas Politik, pemerintah yang bersih merupakan keinginan untuk Indonesia yang tidak kunjung dari Moralitas umat dalam dinamika politik sebagai pemilih berarti mengedepankan narasi damai dan progresif dalam kepentingan politik yang substansial. Perubahan Struktur disini dimaksudkan tentang bagaimana mindset negarawan kita dalam menjalankan sistem pemerintahan agar berpihak kepada kaum lemah dan dilemahkan, negara sebagai alat pembebasan yang memberi kesejahteraan pada rakyat Indonesia semuanya. Nilai islam disini hanya ingin menegakan kekuasaan keadilan tidak kurang tidak lebih, dan keadilan non kelas. Mekanisme Politik kita perlu menegaskan bahwa mekanisme politik kita adalah pemilu yang jujur dan adil. Karena itu adalah hakikat dari demokrasi. Maka perlunya sama sama penyelanggara pemilu yakni negara benar-benar mengantarkan mekanisme yang berkeadilan dan membuat kepercayaan kepada publik agar terjadinya kedamaian dan kerukanan sesame rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka
Ardipandanto, A. (2020). Dampak Politik Identitas Pada Pilpres 2019 : Perspektif Populisme The Impact of Identity Politics On President Election 2019 : Populism Perspective. 11(1), 43–63. https://doi.org/10.22212/jp.v11i1.1582
Faradina, Q., Mahanani, I., & Marintan, M. A. (2022). ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA ( Perspektif Sejarah ).
Kuntowijoyo. (2018). Identitas Politik Umat Islam. In IRCisoD.
Wahyono, S. B. (2012). Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , Mei 2012. 1(1).
Penulis: Mohammad Haidar Albana
Editor: Dyah Anggraini Widya Astuti
Ilustrator: Dyah Anggraini Widya Astuti
*Esai ini pernah diterbitkan di LPM POROS pada tanggal 8 November 2023