Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam yang berdakwah dengan gerakan pembaharuan (tajdid). Organisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan ini juga disebut sebagai gerakan Islam modern. Pada awalnya, gerakan Muhammadiyah bertujuan untuk melakukan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam. Dimana pada zaman itu, masyarakat sangat erat dengan ajaran yang bercampur dengan kesyirikan, seperti takhayul, bid’ah, dan kurafat (TBC).
Selain memurnikan ajaran Islam, Muhammadiyah juga berperan dalam gerakan sosio-kultural. Karena kondisi sosial masyarakat tersebut tertinggal akibat penjajahan. Maka dari itu, Muhammadiyah membawa gerakan tajdid yang di mulai dari Yogyakarta hingga seluruh pelosok Indonesia. Gerakan tajdid yang diinisiasi Muhammadiyah mengantarkan masyarakat pada Islam berkemajuan. Artinya, Islam tidak hanya sekadar mengembalikan ajaran ke Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga mengubah tatanan hidup manusia ke arah yang lebih baik.
Seiring berkembangnya zaman, Muhammadiyah berusaha menerapkan metode dakwah yang sesuai tanpa menghilangkan esensi dari ajaran Islam. Tentunya, Muhammadiyah menyesuaikan diri dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Ketika kita mendengar istilah teknologi, hal itu tidak jauh dari media elektronik, seperti televisi, gadget, dan media sosial. Pada era ini, Muhammadiyah memanfaatkan media-media tersebut untuk berdakwah dan berbagi ilmu pengetahuan umum.
Akan tetapi, media-media tersebut kerap disalahgunakan oleh para penggunanya. Contohnya, media sosial sering kali digunakan untuk menyebarkan kebencian dan informasi palsu (hoax). Bahkan, banyak simpang siur yang meresahkan masyarakat khususnya umat muslim. Informasi yang disebarkan pun hanya setengah sehingga ditelan mentah-mentah oleh pengguna media sosial. Hal itu menjadi tantangan bagi Muhammadiyah untuk meluruskan fungsi dari media-media tersebut.
Oleh karena itu, Muhammadiyah mengenalkan suatu gerakan yang disebut fresh ijtihad. Metode ini merupakan pengembangan dari gerakan pembaharuan (tajdid) yang digagas pertama kali oleh K.H. Ahmad Dahlan. Gerakan tajdid tidak hanya mengentaskan penyakit TBC tetapi juga untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Gerakan itu menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang dinamis atau mengalami perubahan. Dengan adanya perubahan itu, maka fresh ijtihad menjadi metode yang tepat untuk diterapkan pada era ini.
Kehadiran fresh ijtihad erat kaitannya dengan jargon Islam Berkemajuan yang sering digaungkan Muhammadiyah. Istilah tersebut digunakan untuk menyesuaikan perubahan zaman. Tujuan dari Islam berkemajuan ialah mengejar ketertinggalan dari berbagai aspek. Islam yang berkemajuan akan menerima kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Namun, istilah Islam berkemajuan pada era ini belum bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan.
Agar Islam berkemajuan bisa dirasakan masyarakat, dicetuskanlah gerakan fresh ijtihad. Gerakan ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan sosial yang terjadi pada era ini. Salah satu contoh dari permasalahan sosial adalah kapitalisasi pendidikan. Menurut Mansour Fakih (2001), kapitalisasi pendidikan ialah komodifikasi pendidikan atau menjadikan pendidikan sebagai sarana akumulasi kapital. Istilah dari kapitalisasi pendidikan berarti mencari keuntungan sebanyak-banyaknya melalui lembaga pendidikan.
Pada kapitalisasi pendidikan, universitas atau sekolah biasanya memasang biaya tinggi untuk peserta didik. Biaya yang dibayar oleh para peserta didik disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). UKT diperuntukkan bagi mahasiswa yang berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sedangkan, mahasiswa yang berkuliah di Perguruan Tinggi Swasta (SPP) diwajibkan membayar SPP. Meskipun berbeda nominalnya, kedua jenis biaya itu tetap menjadi beban bagi mereka.
Tingginya biaya pendidikan tersebut membuat para mahasiswa mencari cara agar tetap bisa membayar. Biasanya, mahasiswa merelakan waktu istirahatnya untuk bekerja paruh waktu. Ada pula mahasiswa yang mengajukan cuti saat dirinya belum sanggup membayar biaya kuliah. Bahkan, para mahasiswa sampai meminjam uang di bank konvensional atau situs pinjaman online. Meskipun ada beasiswa, tapi belum tentu mereka dapat memenuhi persyaratan yang terlampir. Padahal, beasiswa ditujukan bagi mahasiswa yang kurang mampu secara finansial.
Lalu, bagimana dengan kampus Muhammadiyah? Kampus-kampus tersebut digolongkan sebagai PTS karena tidak dikelola oleh pemerintah dan berada di bawah naungan suatu organisasi. Oleh karena itu, kampus Muhammadiyah menerapkan SPP sebagai biaya yang harus dibayar oleh mahasiswa. Jumlah SPP di kampus Muhammadiyah tergantung dengan program studi apa yang diambil. Penetapan biaya SPP tentunya berbeda dengan UKT, yang mana jumlah nominalnya tidak diklasifikasikan sesuai penghasilan orangtua.
Mahasiswa dengan kondisi finansial yang kurang memadai sering mengeluhkan mahalnya biaya SPP tersebut. Tidak jarang mahasiswa mengajukan dispensasi pembayaran untuk meringankan beban finansialnya. Akan tetapi, bukan berarti pihak kampus memudahkan akses untuk mahasiswanya. Para mahasiswa tetap harus bernegosiasi alot terlebih dahulu untuk mendapatkan hak pendidikannya. Jika kondisi ini dibiarkan, maka pendidikan tinggi semakin tidak tergapai.
Pada kampus Muhammadiyah, permasalahan SPP sering terjadi dengan jumlah nominal yang naik setiap tahunnya. Pihak kampus berdalih bahwa kenaikan SPP tersebut disebabkan oleh perbaikan pada fasilitas kampus. Namun, tidak semua fasilitas kampus dapat dirasakan oleh mahasiswa. Pihak kampus sendiri malah berfokus pada peningkatan akreditasi tanpa memperhatikan kondisi mahasiswanya. Organisasi kampus pun jarang menyuarakan kesulitan yang dihadapi para mahasiswa.
Sejatinya, tujuan dari Pembukaan UUD 1945 alinea keempat ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, akses pendidikan terhadap orang-orang yang kemampuan finansialnya terbatas justru dipersulit. Tujuan K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah (madrasah) untuk memberi akses pendidikan kepada anak-anak kurang mampu. Artinya, kampus Muhammadiyah tidak sejalan dengan tujuan K.H. Ahmad Dahlan dalam mengupayakan kemudahan akses pendidikan.
Apabila Fresh Ijtihad dikorelasikan dengan Kapitalisasi Pendidikan maka hendaknya Muhammadiyah melakukan evaluasi kepada kampus-kampus Muhammadiyah. Reinterpretasi makna pentingnya pendidikan dalam Muhammadiyah juga perlu dilakukan. Selain itu, pendekatan multidisipliner harus diterapkan agar masalah kapitalisasi pendidikan dapat terpecahkan. Intinya, Muhammadiyah harus melakukan pembaharuan terhadap akses pendidikan agar dapat dirasakan oleh masyarakat secara setara.
Sumber:
Abdullah, M. Amin. (2019). FRESH IJTIHAD: Manhaj Pemikiran Muhammadiyah di Era Disrupsi. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Nashir, Haedar. (2010). MUHAMMADIYAH GERAKAN PEMBARUAN. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Muhid, A., & Putra, I. O. L. (2021). Kapitalisasi Pendidikan dan Aksestabilitas Belajar. Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam, 14(1), 89-103.
Umami, K. N., & Muhid, Abdul. (2020). Kapitalisasi Pendidikan dalam Perspektif Psikologi dan Islam. Jurnal Psikologi Islam Al-Qalb, Vol. 11, No. 2, (2020).
Yunus, M., & Faizah, D. D. A. (2023). KAPITALISASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM. JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KEBUDAYAAN DAN AGAMA, 1(3), 1-10.
Penulis: Dyah Anggraini Widya Astuti
Sumber Gambar: Canva